Senin, 24 Desember 2012

Masa Kerjaan Pajajaran


Dalam khazanah kebudayaan masyarakat tatar Sunda, maung atau harimau merupakan simbol yang tidak asing lagi. Beberapa hal yang berkaitan dengan kebudayaan dan eksistensi masyarakat Sunda dikorelasikan dengan simbol maung, baik simbol verbal maupun non-verbal seperti nama daerah (Cimacan), simbol Komando Daerah Militer (Kodam) Siliwangi, hingga julukan bagi klub sepak bola kebanggaan warga kota Bandung (Persib) yang sering dijuluki Maung Bandung. Lantas, bagaimana asal-muasal melekatnya simbol maung pada masyarakat Sunda? Apa makna sesungguhnya dari simbol hewan karnivora tersebut?
Maung dan Legenda Siliwangi
Dunia keilmuan Antropologi mengenal teori sistem simbol yang diintrodusir oleh Clifford Geertz, seorang Antropolog Amerika. Dalam bukunya yang berjudul Tafsir Kebudayaan (1992), Geertz menguraikan makna dibalik sistem simbol yang ada pada suatu kebudayaan. Antropolog yang terkenal di tanah air melalui karyanya “Religion of Java” itu menyatakan bahwa sistem simbol merefleksikan kebudayaan tertentu. Jadi, bila ingin menginterpretasi sebuah kebudayaan maka dapat dilakukan dengan menafsirkan sistem simbolnya.
Sistem simbol sendiri merupakan salah satu dari tiga unsur pembentuk kebudayaan. Kedua unsur lainnya adalah sistem nilai dan sistem pengetahuan. Menurut Geertz, relasi dari ketiga sistem tersebut adalah sistem makna (System of Meaning) yang berfungsi menginterpretasikan simbol dan, pada akhirnya, dapat menangkap sistem nilai dan pengetahuan dalam suatu kebudayaan.
Simbol maung dalam masyarakat Sunda terkait erat dengan legenda menghilangnya (nga-hyang)Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran yang dipimpinnya pasca penyerbuan pasukan Islam Banten dan Cirebon yang juga dipimpin oleh keturunan Prabu Siliwangi. Konon, untuk menghindari pertumpahan darah dengan anak cucunya yang telah memeluk Islam, Prabu Siliwangi beserta para pengikutnya yang masih setia memilih untuk tapadrawa di hutan sebelum akhirnya nga-hyang. Berdasarkan kepercayaan yang hidup di sebagian masyarakat Sunda, sebelum Prabu Siliwangi nga-hyang bersama para pengikutnya, beliau meninggalkan pesan atau wangsit yang dikemudian hari dikenal sebagai “wangsit siliwangi”.
Salah satu bunyi wangsit yang populer di kalangan masyarakat Sunda adalah: “Lamun aing geus euweuh marengan sira, tuh deuleu tingkah polah maung[1]. Ada hal menarik berkaitan dengan kata-kata dalam wangsit tersebut: kata-kata itu termasuk kategori bahasa sunda yang kasar bila merujuk pada strata bahasa yang digunakan oleh masyarakat Sunda Priangan (Undak Usuk Basa). Mengapa seorang raja berucap dalam bahasa yang tergolong “kasar”? Bukti sejarah menunjukkan bahwa kemunculan undak usuk basa dalam masyarakat Sunda terjadi karena adanya hegemoni budaya dan politik Mataram yang memang kental nuansa feodal, dan itu baru terjadi pada abad 17—beberapa sekian abad pasca Prabu Siliwangi tiada atau nga-hyang. Namun tinjauan historis tersebut bukanlah bertujuan melegitimasi wangsit itu sebagai kenyataan sejarah. Bagaimanapun, masih banyak kalangan yang mempertanyakan validitas dari wangsit itu sebagai fakta sejarah, termasuk penulis sendiri.
Wangsit, yang bagi sebagian masyarakat Sunda itu sarat dengan filosofi kehidupan, menjadi semacam keyakinan bahwa Prabu Siliwangi telah bermetamorfosa menjadi maung (harimau) setelahtapadrawa (bertapa hingga akhir hidup) di hutan belantara. Yang menjadi pertanyaan besar: apakah memang pernyataan atau wangsit Siliwangi itu bermakna sebenarnya ataukah hanya kiasan? Realitasnya, hingga kini masih banyak masyarakat Sunda (bahkan juga yang non-Sunda) meyakini metamorfosa Prabu Siliwangi menjadi harimau. Selain itu, wangsit tersebut juga menjadi pedoman hidup bagi sebagian orang Sunda yang menganggap sifat-sifat maung seperti pemberani dan tegas, namun sangat menyayangi keluarga sebagai lelaku yang harus dijalani dalam kehidupan nyata.
Dari sini kita melihat terungkapnya sistem nilai dari simbol maung dalam masyarakat Sunda. Ternyata maung yang memiliki sifat-sifat seperti yang telah disebutkan sebelumnya menyimpan suatu tata nilai yang terdapat pada kebudayaan masyarakat Sunda, khususnya yang berkaitan dengan aspek perilaku (behaviour).
Kisah lain yang berkaitan dengan menjelmanya Prabu Siliwangi menjadi harimau adalah legenda hutan Sancang atau leuweung Sancang di Kabupaten Garut. Konon di hutan inilah Prabu Siliwangi beserta para loyalisnya menjelma menjadi harimau atau maung. Proses penjelmaannya pun terdapat dalam beragam versi. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, ada yang mengatakan bahwa Prabu Siliwangi menjelma menjadi maung setelah menjalani tapadrawa. Tetapi ada pula sebagian masyarakat Sunda yang berkeyakinan bila Prabu Siliwangi dan para pengikutnya menjadi harimau karena keteguhan pendirian mereka untuk tidak memeluk agama Islam. Menurut kisah tersebut, Prabu Siliwangi menolak bujukan putranya yang telah menjadi Muslim, Kian Santang, untuk turut memeluk agama Islam. Keteguhan sikap itu yang mendorong penjelmaan Prabu Siliwangi dan para pengikutnya menjadi maung. Akhirnya, Prabu Siliwangi pun berubah menjadi harimau putih, sedangkan para pengikutnya menjelma menjadi harimau loreng.
Hingga kini kisah harimau putih sebagai penjelmaan Siliwangi itu masih dipercayai kebenarannya oleh masyarakat di sekitar hutan Sancang. Bahkan, kisah ini menjadi semacam kearifan lokal (local wisdom). Menurut masyarakat di sekitar hutan, bila ada pengunjung hutan  yang berperilaku buruk dan merusak kondisi ekologis hutan, maka ia akan “berhadapan” dengan harimau putih yang tak lain adalah Prabu Siliwangi. Tidak masuk akal memang, namun di sisi lain, hal demikian dapat dipandang sebagai sistem pengetahuan masyarakat yang berhubungan dengan ekologi. Masyarakat leuweung Sancang telah menyadari arti pentingnya keseimbangan ekosistem kehutanan, sehingga diperlukan instrumen pengendali perilaku manusia yang seringkali berhasrat merusak alam. Dan mitos harimau putih jelmaan Siliwangi lah yang menjadi instrumen kontrol sosial tersebut.
Namun, serangkaian kisah yang mendeskripsikan korelasi antara Prabu Siliwangi dengan mitos maung itu tetap saja menyisakan pertanyaan besar, apakah itu semua merupakan fakta sejarah? Siapa Prabu Siliwangi sebenarnya dan darimanakah mitos maung itu muncul pertama kali?
Kekeliruan Tafsir
Bila kita telusuri secara mendalam, niscaya tidak akan ditemukan bukti sejarah yang menghubungkan Prabu Siliwangi atau Kerajaan Pajajaran dengan simbol harimau. Adapun yang mengatakan bahwa harimau pernah menjadi simbol Pajajaran adalah salah satu tokoh Sunda sekaligus orang dekat Otto Iskandardinata (Pahlawan Nasional), Dadang Ibnu. Tetapi, lagi-lagi, tidak ada bukti sejarah Sunda yang dapat memperkuat hipotesa ini, baik itu Carita Parahyangan, Siksakanda Karesian, ataupun Wangsakerta. Bahkan mengenai lambang Kerajaan Pajajaran pun masih debatable, dikarenakan ada beragam versi lain yang mengemuka menyangkut lambang Pajajaran.[2]
Problem lain yang muncul berkaitan dengan kebenaran sejarah “maung Siliwangi” tersebut ialah rentang waktu yang cukup jauh antara masa ketika Prabu Siliwangi hidup dan memerintah dengan runtuhnya Kerajaan Pajajaran yang dalam mitos maung berakhir dengan penjelmaan Siliwangi dan para pengikut Pajajaran menjadi harimau di hutan Sancang. Penting untuk diketahui bahwa secara etimologis, Siliwangi, yang terdiri dari dua suku kata yaitu Silih (pengganti) dan Wangi, bermakna sebagai pengganti Prabu Wangi. Menurut para pujangga Sunda di masa lampau, Prabu Wangi merupakan julukan bagi Prabu Niskala Wastukancana yang berkuasa di Kerajaan Sunda-Galuh (ketika itu belum bernama Pajajaran) pada tahun 1371-1475. Lalu, nama Siliwangi yang berarti pengganti Prabu Wangi merupakan julukan bagi Prabu Jayadewata, cucu Prabu Wastukancana. Prabu Jayadewata yang berkuasa pada periode 1482-1521 dianggap mewarisi kebesaran Wastukancana oleh karena berhasil mempersatukan kembali Sunda-Galuh dalam satu naungan kerajaan Pajajaran.[3] Sebelum Prabu Jayadewata berkuasa, Kerajaan Sunda-Galuh sempat terpecah. Putra Wastukancana (sekaligus ayah Prabu Jayadewata), Prabu Dewa Niskala, hanya menjadi penguasa kerajaan Galuh.
Dipersatukannya kembali Sunda dan Galuh oleh Jayadewata, membuat beliau dipandang mewarisi kebesaran kakeknya, Prabu Wastukancana alias Prabu Wangi. Maka, para sastrawan atau pujangga Sunda ketika itu memberikan gelar Siliwangi bagi Prabu Jayadewata. Siliwangi memiliki arti pengganti atau pewaris Prabu Wangi. Jadi, raja Sunda Pajajaran yang dimaksud dalam sejarah sebagai Prabu Siliwangi adalah Prabu Jayadewata yang berkuasa dari tahun 1482-1521.
Lalu kapan sebenarnya Kerajaan Pajajaran runtuh? Apakah pada masa Prabu Jayadewata atau Siliwangi? Ternyata, sejarah mencatat ada lima raja lagi yang memerintah sepeninggal Prabu Jayadewata.[4] Berikut ini periodisasi penerintahan raja-raja Pajajaran pasca wafatnya Jayadewata alias Siliwangi :
1.)   Prabu Surawisesa (1521-1535)
2.)   Prabu Ratu Dewata (1535-1543)
3.)   Ratu Sakti (1543-1551)
4.)   Prabu Nilakendra (1551-1567)
5.)   Prabu Raga Mulya (1567-1579)
Pada masa pemerintahan Raga Mulya lah, tepatnya tahun 1579, Kerajaan Pajajaran mengalami kehancuran akibat serangan pasukan Kesultanan Banten yang dipimpin Maulana Yusuf.[5] Peristiwa tersebut tercatat dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219, sebagai berikut :
Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa punjul siki ikang cakakala.
Artinya :
Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka atau tanggal 8 Mei 1579 M.
Kemudian bagaimana nasib Prabu Mulya? Sumber yang sama menyatakan bahwa Prabu Raga Mulya beserta para pengikutnya yang setia tewas dalam pertempuran mempertahankan ibukota Pajajaran yang ketika itu telah berpindah ke Pulasari, kawasan Pandeglang sekarang. Fakta sejarah tersebut menunjukkan bahwa keruntuhan kerajaan Pajajaran terjadi pada tahun 1579 atau 58 tahun setelah Prabu Siliwangi wafat. Berarti Prabu Siliwangi tidak pernah mengalami keruntuhan Kerajaan yang telah dipersatukannya. Raja yang mengalami kehancuran Kerajaan Pajajaran adalah Prabu Raga Mulya yang merupakan keturunan kelima Prabu Siliwangi atau janggawareng[6] nya Prabu Siliwangi. Sementara Prabu Raga Mulya sendiri gugur dalam perang mempertahankan kedaulatan negerinya dari agresi Banten. Jadi, raja Pajajaran terakhir ini memang nga-hyang, namun bukan menjadi maung sebagaimana diyakini masyarakat Sunda selama ini melainkan gugur di medan tempur. Dari serangkaian bukti sejarah tersebut dapat disimpulkan bahwa mitos penjelmaan Prabu Siliwangi dan sisa-sisa prajurit Pajajaran menjadi harimau hanya sekedar mitos dan bukan fakta sejarah.
Bila bukan fakta sejarah, darimana sebenarnya mitos maung yang selalu melekat pada kisah Siliwangi dan Pajajaran itu berasal? Pertanyaan ini dapat menemukan titik terang bila meninjau laporan ekspedisi seorang peneliti Belanda, Scipio, kepada Gubernur Jenderal VOC, Joanes Camphuijs, mengenai jejak sejarah istana Kerajaan Pajajaran di kawasan Pakuan (daerah Batutulis Bogor sekarang). Laporan penelitian yang ditulis pada tanggal 23 Desember 1687 tersebut berbunyi“dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort”, yang artinya: bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja “Jawa” Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau. Bahkan kabarnya salah satu anggota tim ekspedisi Scipio pun menjadi korban terkaman harimau ketika sedang melakukan tugasnya.
Temuan lapangan ekspedisi Scipio itu mengindikasikan bahwa kawasan Pakuan yang ratusan tahun sebelumnya merupakan pusat kerajaan Pajajaran telah berubah menjadi sarang harimau. Hal inilah yang menimbulkan mitos-mitos bernuansa mistis di kalangan penduduk sekitar Pakuan mengenai hubungan antara keberadaan harimau dan hilangnya Kerajaan PajajaranBerbasiskan pada laporan Scipio ini, dapat disimpulkan bila mitos maung lahir karena adanya kekeliruan sebagian masyarakat dalam menafsirkan realitas.
Sesungguhnya, keberadaan harimau di pusat Kerajaan Pajajaran bukanlah hal yang aneh, mengingat kawasan tersebut sudah tidak berpenghuni pasca ditinggalkan sebagian besar penduduknya di penghujung masa kekuasaan Prabu Nilakendra—ratusan tahun sebelum tim Scipio melakukan ekspedisi penelitian.[7] Sepeninggal para penduduk dan petinggi kerajaan, wilayah Pakuan berangsur-angsur menjadi hutan. Bukanlah suatu hal yang aneh bila akhirnya banyak harimau bercokol di kawasan yang telah berubah rupa menjadi leuweung tersebut.
Kesimpulan
Mitos maung yang dilekatkan pada sejarah Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran pun sudah terpatahkan oleh serangkaian bukti dan catatan sejarah yang telah penulis uraikan. Memang sebagai sebuah sistem simbol, maung telah melekat pada kebudayaan masyarakat Sunda. Simbol dan mitosmaung juga menyimpan filosofi serta berfungsi sebagai sistem pengetahuan masyarakat berkaitan dengan lingkungan alam. Hal demikian tentu harus kita apresiasi sebagai sebuah kearifan lokal masyarakat Sunda.
Namun sebagai sebuah fakta sejarah, identifikasi maung sebagai jelmaan Prabu Siliwangi dan pengikutnya merupakan kekeliruan dalam menafsirkan sejarah. Hal inilah yang perlu diluruskan agar generasi berikutnya, khususnya generasi baru etnis Sunda, tidak memiliki persepsi yang keliru dengan menganggap mitos maung Siliwangi sebagai realitas sejarah.
Kekeliruan mitos maung hanya salah satu dari sekian banyak ”pembengkokkan” sejarah di negeri ini yang perlu diluruskan. Hendaknya kita jangan takut menerima realitas sejarah yang mungkin berlawanan dengan keyakinan kita selama ini, karena sebuah bangsa yang tidak takut melihat kebenaran masa lalu dan berani memperbaikinya demi melangkah menuju masa depan akan menjelma menjadi bangsa yang memiliki kepribadian tangguh. Terima kasih.
Sampurasun..
HISKI DARMAYANA, Kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sumedang dan Alumni Antropologi FISIP Universitas Padjadjaran.


[1] Kisah mengenai wangsit ini telah menjadi semacam kisah yang sifatnya “tutur tinular” dari generasi ke generasi dalam masyarakat Sunda. Sehingga sulit dilacak dari mana sebenarnya cerita mengenai wangsit ini bermula.
[2] Sebagian kalangan berkeyakinan lambang Pajajaran adalah burung gagak (kini menjadi lambang salah satu perguruan silat di Jawa Barat, Tajimalela). Sementara ada pula yang berpendapat bahwa gajah adalah simbol Pajajaran yang sebenarnya.
[3] Nama Siliwangi sudah muncul di Kropak 630, semacam karya sastra Sunda berjenis pantun pada masa Prabu Jayadewata berkuasa. Seperti halnya nama Prabu Wangi, Siliwangi juga diciptakan oleh para pujangga Sunda sebagai julukan atau gelar bagi Prabu Jayadewata. Selain Siliwangi, Prabu Jayadewata juga mendapat gelar lain, yakni Sri Baduga Maharaja.
[4] Terdapat dalam  naskah Carita Parahyangan. Naskah ini mendokumentasikan kehidupan Kerajaan Sunda-Galuh hingga Pajajaran dari berbagai aspek, seperti politik dan ekonomi.
[5] Maulana Yusuf tiada lain adalah keturunan Prabu Siliwangi dengan Nyi Subanglarang.
[6] Janggawareng merupakan istilah  bagi keturunan kelima dalam sistem kekerabatan Sunda.
[7] Hal ini diceritakan dalam naskah Carita Parahyangan. Migrasi besar-besaran tersebut dilakukan untuk menghindari serangan Pasukan Banten yang sangat gencar. Sementara strategi pertahanan Prabu Nilakendra amat lemah  dan tidak mampu membendung agresi Banten.


 Sejarah Kian San Tang
tulisan oleh: Kandjeng Pangeran Karyonagoro, 2005
Kian Santang adalah tokoh tasawuf dari tanah pasundan yang ceritanya melegenda khususnya di hati masarakat pasundan dan kaum tasawuf ditanah air pada umumnya. Tokoh kian-santang ini pertama kali berhembus dan dikisahkan oleh raden CAKRABUANA atau pangeran walangsungsang ketika menyebarkan islam di tanah cirebon dan pasundan. Pangeran cakrabuana adalah anak dari prabu sili-wangi atau jaya dewata raja pajajaran, yang dilahirkan dari permaisuri ketiga yang bernama nyi subang larang, subang-larang sendiri murid dari mubaliq kondang yaitu syeh maulana-hasanudin atau terkenal dengan syeh kuro krawang.
Mulanya yaitu, ketika raden walangsungsang memilih untuk pergi meninggalkan galuh pakuan atau pajajaran, yang di sibebabkan oleh keberbedaan haluan dengan keyakinan ayahnya yang memeluk agama “shangyang”, pada waktu itu. diriwayatkan beliau berkelana mensyi’arkan islam bersama adiknya yaitu rara santang (ibu dari syarif hidayatullah atau “sunan gunung jati”) dengan membuka perkampungan di pesisir utara yang menjadi cikal-bakal kerajaan caruban atau kasunanan cirebon yang sekarang adalah “kota madya cirebon”.
Legenda kian-santang sendiri diambil dari sebuah kisah nyata, dari tanah pasundan tempo dulu yang ceritanya pada waktu itu tersimpan rapi berbentuk buku di perpustakaan kerajaan pajajaran. Karena pajajaran adalah hasil penyatuan dua kerajaan antara galuh dan kerajaan sunda pura yang dimana kerajaan galuh dan sundapura adalah dua kerajaan pecahan dari taruma negara, yang di masa prabu PURNA-WARMAN yaitu raja ketiga dari kerajaan taruma negara yang di pecah menjadi dua yaitu tarumanegara yang berganti sundapura dan ibukota lama menjadi galuh pakuan. Dan jaya dewata menyatukan kembali dua pecahan kerajaan taruma negara menjadi pajajaran.
Di mana di kisahkan pada waktu itu yaitu abad ke 4m atau tahun 450 pernah terdapat putra mahkota yang sakti mandraguna bernama GAGAK LUMAYUNG yang dalam ceritanya “di tataran suda dan sekitarnya ,tak ada yang mampu mengalahkan ilmu kesaktiannya. hingga suatu saat datang pasukan dari dinasti TANG yang hendak menaklukkan kerajaan tarumanegara. namun berkat gagak lumayung, pasukan TANG dapat di halau dan tunggang-langgang meninggalkan taruma negara.
Semenjak itu raden gagak lumayung di beri sebutan ”KI AN SAN TANG” atau ”penakluk pasukan tang” Di ceritakan sang kiansantang ini karena saking saktinya hingga dia rindu kepingin melihat darahnya sendiri. Hingga sampailah di suatu ketika sa’at dia mendapat wangsit di tapabratanya bahwah di tanah arab terdapat orang sakti mandraguna.  Konon: dengan ajian napak sancangnya raden kian santang mampu mengarungi lautan dengan berkuda saja. “Di mana dalam ceritanya ketika sampai di pesisir beliau bertemu seorang kakek ,dan padanya dia minta untuk di tunjukan di mana orang sakti yang kian santang maksud tersebut”.  Dan dengan senang hati si-kakek tersebut menyanggupinya dan sementara dia mengajak beliau “kiansantang” untuk mampir dulu ke rumahnya.
Al-kisah setelah sampai di rumahnya tongkat dari sang kakek tersebut tertinggal di pesisir dan minta kian santang untuk mengambilkanya ,konon dikisahkan si-kian santang tak mampu mencabutnya sampai tanganya berdarah-darah ,disitulah kian santang baru sadar kalau kakek itu adalah orang yang di carinya.  Dan akhirnya dengan membaca kalimah syahadat yang di ajarkan sang kakek tadi “yang akhirnya menjadi guru spiritualnya” tongkat tersebut dapat di cabut .
Cerita tersebut membumi sekali sampai saat sekarang. Dan yang aneh, kebanyakan orang menduga kalau kian santang itu adalah raden walang sungsang. Padahal banyak sekali cerita yang sepadan dengan kisah raden walang sungsang tersebut. Yang sesungguhnya dialah yang mengisahkan justru dialah yang di kira pelaku (raden walang sungsang atau pangeran cakrabuana) sebagai tokoh yang diceritakan itu. Tujuannya adalah hanya sebagai media dakwah dan penyebaran islam di bumi cirbon dan sekitarnya. Sehingga sampai sekarang banyak kalangan yang menyangka raden walangsungsang adalah kian santang bahkan ada yang menafikan kian santang adalah adik cakrabuana dan kakak dari rara santang.
Raden walangsungsang mengambil cerita ini dari perpustakaan kerajaan pajajaran dengan pertimbangan karena kisah itu mirip dengan kisahnya, Yang di mana kian santang setelah pulang dari arab dia ingin meng-islamkan ayahnya prabu purnawarman namun di tolaknya dan kian santang memilih meninggalkan istana dan tahtanya di berikan adiknya yaitu darmayawarman. Begitu pula raden walang sungsang yang pernah merantau ke arab dan meningkahkan adiknya rara santang yang di ambil istri oleh putra kerajaan mesir waktu itu dan pernikahan berlangsum di mesir yang dari perkawinan inilah nanti akan lahirlah raden syarif hidayatullah atau sunan gunung jati.
Keinginan Walangsungsang untuk meng-islamkan prabu siliwangi ditolak mentah-mentah dan ayahnya tidak ingin bertarung dengan anaknya maka dia memilih mensucikan diri atau bertapa, konon beliau menjelma macan putih. Pengambilan kisah penokohan dalam sebuah ceritra seperti ini sebenarnya pernah pula terjadi pada era sebelum raden walang sungsang yang tepatnya dilakukan oleh raja jaya-baya (raja islam pertama di tanah jawa) dari kerajaan panjalu atau kediri, di mana suaktu masih di pegang raja airlangga kerajaan tersebut bernama kerajaan KAHURIPAN dan karena kedua anaknya semua meminta tahta maka kahuripan di bagi dua yaitu panjalu dan jenggala. Sepanjang perkembangan dua kerajaan tersebut selalu bermusuhan dan pada masa kerajaan panjalu dirajai oleh jaya baya, panjalu mampu menaklukkan jenggala dan di satukan lagi antara jenggala dan panjalu.
Pada waktu panjalu menaklukkan jenggala rajanya jaya-baya meminta empu sedha dan empu panuluh untuk mengutip naskah dari india yang judulnya maha barata. namun di ferifikasi dengan gaya jawa. Sebagai perlambang atas kemenangan perang saudara panjalu atas jenggala. Yang akhirnya kitab tersebut di beri judul barata-yuda. Dan dalam kisah klasik jawa ini banyak kalangan masarakat yang mengira bahwa jaya baya adalah kelanjutan dari trah barata yaitu cicit dari parikesit putra abimanyu.
Juga kisah lainnya yang serupa pernah pula hadir kemasarakat yang tujuannya waktu itu sebagai media dakwah untuk melindungi rongrongan ajaran syariat terhadap kaum sufi.maka ketika bergerak menyebarkan islam WALI SONGO menurt banyak kalangan membuat cerita al-halaq fersi indonesia yaitu syeh siti jenar. Yang menurut Doktor Simon dari UGM Yogja berdasarkan temuannya karya-karya besar berupa naskah suluk dari sunan kali jaga dan lain sebagainya. Dapat di pastikan tokoh siti jenar adalah imajener hanya untuk media dakwah dan melindungi islam agar tetap pada ajaran ahlusunah wa jamaah.
Dan sampai saat ini pendapat itu masih simpang siur dan menjadi perdebatan dan polemik panjang oleh para ahli sejarah di tanah air. Nuwun, Rahayu.


39 komentar:

  1. Allhamdulillah ada sedikit yg membuat ku terkesan..
    by Cahyono dari Serang-Banten

    BalasHapus
  2. sejarah emang bingung kk....bnyak versi yg berbeda beda....itu semua tergantung para pecinta sejarah aja percaya versi yang mana....

    BalasHapus
  3. Sejarh cukup buta di knl Dan di budayakan sajh,ttpi jgn di lebihkaan,yg namanya Brita psti berlebih Dan berkurng,intinya jgn trllu di shoot kan sjrh itu,yg pnting kita bsa ambil pesannya aaja tntg perjuangan org trdhulu memperjuangkn agam islam by si janaa sng putra Sunda serang

    BalasHapus
  4. Prabu siliwangi sebelum menghilang telah memeluk agama islam dan sejarahnya di tulis dalam kitab swasil , dan bukti telah memeluknya ada di kujang milik prabu siliwangi yang dulunya lubang di kujang tersebut pada saat itu 4(kepercayan hindu) sekarang menjadi 5(rukun islam)

    BalasHapus
  5. Hulu aing jadi ranyud maca sejarah sunda teh,,,bolak balik dari jam 12 malam smp subuh,,,kesimpulannya bingung,,,,,jadol teh,,,,,,=D

    BalasHapus
  6. Hulu aing jadi ranyud maca sejarah sunda teh,,,bolak balik dari jam 12 malam smp subuh,,,kesimpulannya bingung,,,,,jadol teh,,,,,,=D

    BalasHapus
  7. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  8. saya & 2 adik saya prnh didatangi & berkomunikasi dg raden kian santang & ratu pantai selatan nyi roro kidul, melalui salah satu klrga saya sndiri & atas ijin allah swt mrka meminjam raga klrga kami trsbt & mrka menggunakan bahasa sunda halus, mrka hya bil klu kami msh keturunan ny & bermksd hya utk menengok kami & seingat sy prtama kali ratu pantai selatan nyi roro kidul menemui kami tahun 1998 sebelum terjadi ny presiden pak suharto alm, mengundurkan diri & nyi roro kidul sempat menitipkan kipas cendana & utk kedua kali nyi roro kidul menemui kami tp saya lupa di tahun brp, trmsk 3x raden kian santang pun mendatangi kami dlm wktu berdekatan tp saya lupa di tahun brp menemui kami tp sy emg meyakini yg gaib it rahasia & urusan allah swt, wallahualam

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jangan terlalu percaya karna iblis/jin. Itu bisa saja menyerupai apa saja biar kta percaya tapi itu semua tipu muslihat jin semata biar kta terjerumus ke dalam golongan nya.

      Hapus
  9. saya suka dengan sejarah sunda, apalagi prabu siliwangi..!



    Visit : http://www.herbalonlinetop.com/2015/09/pengobatan-tradisional-untuk-sakit-tenggorokan.html

    BalasHapus
  10. Bener jdi rieut seueur pisan versina. Anu mana nya anu beuneur..

    BalasHapus
  11. nabi sabdakan ,,,dialah al haris bin harras(kian santang)

    BalasHapus
  12. Yg pasti mah nama pajajaran..prabu siliwangi..prabu kiansantang n kujang n maung....sdah mnjadi simbol urang sunda.....alhamdulillah dngan mmbaca sejarah ini bnyak ilmu lg

    BalasHapus
  13. Sejarah memang perlu diluruskan, Insya Allah kebenaran pasti terungkap, kemungkinan bisa saja Prabu Siliwangi memang menolak masuk Islam dan memilih nga-hyang dan berusaha menahan diri untuk tidak memerangi anak cucunya sendiri tetapi kerajaannya tidak serta merta menghilang dan dilanjutkan oleh keturunannya yang tetap setia dengan agama lama, sedangkan keturunan beliau yang telah memeluk Islam dan berkuasa di Cirebon dan Banten tak henti-henti mengajak sanak saudaranya masuk Islam namun tetap mendapat penolakan dan tentangan hingga akhirnya Cirebon dan Banten memutuskan untuk menyerang pajajaran dan membumihanguskan pakuan pajajaran, selain alasan agama tentu ada alasan lain seperti perebutan wilayah yang strategis dan menguntungkan secara ekonomi juga penguasa Cirebon dan terutama Banten merasa berhak atas tahta Pajajaran. Wallahu 'alam.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bro..!dalam undang undang islam orang islam itu harus menikah dengan orang islam,subang larang kan muridnya sech kuro,mustahil kalau dia gak ngerti agama islam

      Hapus
    2. Bro..!dalam undang undang islam orang islam itu harus menikah dengan orang islam,subang larang kan muridnya sech kuro,mustahil kalau dia gak ngerti agama islam

      Hapus
    3. Saya setuju dengan pendapat anda, ada yang mengatakan bahwa Prabhu Jayadewata (Siliwangi) masuk Islam sebelum menikah dengan Nyai Subang Larang dan kembali memeluk agama lama setelah permaisurinya itu meninggal dunia. Putra-putri dan cucu beliau walaupun kecewa tapi tetap menunjukkan rasa hormat dan tidak pernah terjadi pertempuran antara Pajajaran dengan Cirebon dan Banten semasa beliau hidup. Sorry agak telat ya, dah lama gak buka-buka web.

      Hapus
    4. Hayang nyaho pajajaran kamana.. teang ki santang.. sabab ki santang nu apal koncina..

      Hapus
  14. Gmn ceritanya kanjeng prabu siliwangi nolak msk islam? Gelarnya aja udh jls2 Sri Baduga Maharaja Ratu Haji.. mna ada gelar haji d agama lain? Coba lbh teliti lg menganalisa.. justru Raden Kian Santang belajar islam ya dr bapaknya yaitu prabu siliwangi sndiri, Randen Kian Santang adalah anak yg sangat patuh, sopan dan santun terhadap orang tuanya, jd mna mungkin dia berselisih apalg berani bertengkar sama orang tuanya? lalu istilah maung, maung itu bkn harimau spt yg kbykan org pikir.. maung = manusia unggul, knp demikian? Itu krn memang pd jaman itu org2 sunda itu hebat2... dan Kanjeng Prabu Siliwangi tdk pernah berubah jd harimau, ingat.. manusia lbh tinggi derajatnya drpd hewan.. menilai dan melihat sesuatu harus pake logika, tp kl logika udh ga kesampean, yg ada jd nya logila... wassallam

    BalasHapus
  15. Gmn ceritanya kanjeng prabu siliwangi nolak msk islam? Gelarnya aja udh jls2 Sri Baduga Maharaja Ratu Haji.. mna ada gelar haji d agama lain? Coba lbh teliti lg menganalisa.. justru Raden Kian Santang belajar islam ya dr bapaknya yaitu prabu siliwangi sndiri, Randen Kian Santang adalah anak yg sangat patuh, sopan dan santun terhadap orang tuanya, jd mna mungkin dia berselisih apalg berani bertengkar sama orang tuanya? lalu istilah maung, maung itu bkn harimau spt yg kbykan org pikir.. maung = manusia unggul, knp demikian? Itu krn memang pd jaman itu org2 sunda itu hebat2... dan Kanjeng Prabu Siliwangi tdk pernah berubah jd harimau, ingat.. manusia lbh tinggi derajatnya drpd hewan.. menilai dan melihat sesuatu harus pake logika, tp kl logika udh ga kesampean, yg ada jd nya logila... wassallam

    BalasHapus
  16. Wew cerita ny 90% ngawur...cerita kian santang & prabu siliwangi tdk sperti itu...yg ngaku keturunan prabu siliwangi d komen atas ngaku2 aja tuh cz gk ada kaitan nya prabu silwangi dan nyi roro kidul...mf klo anda memang ngaku keturunan siliwangi pasti tau apa arti dr DADDALIKA BATAKARA...sok mangga atuh d jawab

    BalasHapus
    Balasan
    1. Atuh nyambung mang nyirorokidul teh anakna ratu bilqis anakna nabi etateh nang loba anu nganggap nyirorokidul teh anu sok menta tumbal padahalmah lain etamah jin anu saririkeun ka nyirorokidul.atuh kiansantang jeung nyi rorokidulmah bisa kapendak soalna kiansantangmah bisa ngobrol jeung makhluk rasa jeung jalmi anu tos teu aya....

      Hapus
  17. Raribut teu pararuguh.. . Ibadah we ka allah sing bener lah.
    Ikuti aja pwrintahallah dan rosulnya. Itu yg pentibg.

    BalasHapus
  18. alhamdulillah euy jadi jelas ayeunamah sejarah teh.. hatur nuhun penulis... mantap lahhh

    BalasHapus
  19. Hadir jati diri sunda tasik_bandung

    BalasHapus
  20. sekarang udah paham mengenai latar belakang kian santang...

    silahkan mampir ya www.kumpulanceramahajaranagamaislam.blogspot.com

    BalasHapus
  21. sekarang udah paham mengenai latar belakang kian santang...

    silahkan mampir ya www.kumpulanceramahajaranagamaislam.blogspot.com

    BalasHapus
  22. Hayang bagi carita
    Leuweung Kolot adalah kampung di Desa Girimulya di kecamatan Cibungbulang, Bogor, Jawa Barat, Indonesia.Leuweng kolot yang dulu bernama luang kolot yang artinya tempat berkumpulnya para sesepuh,ulama-ulama pada zaman pajajaran perubahan nama itu karena kebiasaan masyarakat yang sering salah mengucapkannya.Daerah ini konon merupakan keraton selirnya perabu siliwangi yang ke7 beliau bernama Nyiratu Gangga manik beliau beragama Islam beliau berguru kepada sunan gunung jati.
    Nyiratu Gangga manik adalah selir yang paling di segani karena kemampuan kanuragannya yang hebat beliau sering mengikuti perang bersama perabu siliwangi,beliau mempunyai putra bernama raden wiliang sari,raden wiliang sari tidak mengikuti agama ibunya beliau beragama hindu.
    Di leuweng kolot ada sebuah pohon besar yang disebut pohon karet kerbau/tangkal karet konon pohon itu sudah ada pada zaman pajajaran,pohon itu adalah tempat penyegelan jin musuh prabu siliwangi yang telah dikalahkan salah satunya ular mahesa,dan terdapat sebuah Goa yang konon goa itu adalah jalan untuk menuju gunung salak yang di gunakan perabu siliwangi.
    adapun tempat-tempat yang dulu di pakai kerajaan
    *alun-alun/tempat perkumpulan yang sekarang menjadi pesantren al-fattah.
    *airterjun tempat mandinya paradayang sekarng menjadi tempat pemandian umun disebut pancuran.
    *dan istana yang terletak di salah satu rumah di leuweng kolot.
    adapun nama-nama yang pernah hidup di zaman tersebut.
    "ki hengga reksa sebagai pembuat panah.
    "nyi puspa jaya sebagai pendandan nyiratu yg setia
    "ki abdullah.
    "bah nurban
    "ki hanggareksa adalah raden kiansantang.
    "ki putih.
    "ki udeng putih
    dan ada orang yang paling tua/paling lama tinggal di leuweng kolot yaitu nyi ayu manis lestari beliau hidup pada zaman kerajaan majapahit.
    masih banyak lagi dan tidak mungkin saya sebutkan
    terimakasih

    BalasHapus
  23. hemzz...yg bnr it adlh PRABU SHILIWANGI..sosok manusia yg tegas bijaksana dan ber ilmu..jd mslh dy sdh masuk islam atau blm nya, hanya LILLAHI TA'ALLA yg tau sgala kbenaran nya..terima kasih..by: putra lampung

    BalasHapus
  24. Waduuuwh.... Punteun ach... Numpang nyimak

    BalasHapus